Senin, 13 November 2017


 Beberapa waktu yang lalu, Muhammadiyah mengimbau kepada seluruh warga persyarikatan untuk membantu menyebarkan kesimpulan fatwa tarjih melalui beberapa gambar tentang cadar, celana cingkrang bagi laki-laki, dan sebagainya. Bahkan, ada sebagian dari pembaca pesan dalam gambar-gambar tersebut yang mengira/berasumsi bahwa Muhammadiyah melarang penggunaan cadar, celana cingkrang, dan semisalnya. Benarkah demikian?

Belakangan, semangat beragama masyarakat memang mengalami peningkatan, terutama di kalangan kawula muda, khususnya di Banjarmasin. Hal ini berdampak pada—diantaranya—ramainya pengajian-pengajian keislaman di berbagai masjid dan gaya berpakaian yang sesuai/mulai mendekati kesesuaian dengan aturan dari hadits dan Al Qur'an. Kita bersyukur untuk itu.

Selain itu, yang juga menjadi dampak atas peningkatan semangat beragama tersebut ialah mulai-banyaknya muslimah yang memutuskan menggunakan cadar serta laki-laki yang menggunakan celana cingkrang. Beberapa di antara mereka memang warga Muhammadiyah, dan untuk diketahui, dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama mengenai hukum keduanya. Maka, bagaimanakah Muhammadiyah memandang hal ini?

Berikut adalah penjelasan lengkap yang dikutip dari situs resmi Fatwa Tarjih Muhammadiyah dan sedikit tambahan dari pemaparan Ustadz Nurcholis pada KajianMu, dikutip dari tulisan Saudari Miftahul Ajri.

Check this out.

Tentang cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, Bab Sekitar Masalah Wanita.  

Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam Al Qur’an maupun sunnah. Syariat Islam yang diperintahkan bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31 yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …,

“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Ayat ini menurut penafsiran jumhur ulama, bahwa yang boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya  sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol. 6:51)

Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Aisyah ra:
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. [HR. Abu Dawud]

Hadits ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama kritikus Hadits.

Namun, ia mempunyai  penguat yang ternilai mursal shahih dari jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (no. 460, cet. Dar al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi).” [HR. Abu Dawud]
Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378) dan al-Ausath (2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4/283).

Selain itu, banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).

Terkait dengan pakaian perempuan ketika shalat, sebuah riwayat dari Aisyah ra menjelaskan bahwa ketika shalat para perempuan pada zaman Nabi saw memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna).
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku Urwah bahwasannya Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah saw shalat subuh, beberapa perempuan mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi saw). Mereka shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak seorangpun yang mengenal mereka.” Dalam riwayat lain: “Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.” [Muttafaq ‘alaihi]

Imam asy-Syaukani memahami hadits ini bahwa para sahabat perempuan di antaranya Aisyah ra tidak dapat mengenali satu sama lain sepulang dari shalat subuh karena memang keadaan masih gelap dan bukan karena memakai cadar, karena memang saat itu wajah para perempuan biasa terbuka.

Akan tetapi, apakah Muhammadiyah melarang menggunakan cadar?
Tidak, tetapi mewajibkan juga tidak karena tidak ada indikasi yang kuat pada hadist atau ayat tersebut untuk mewajibkan. Tentang niqab, perdebatannya panjang dari dahulu hingga sekarang.

Bagi Muhammadiyah, hadist-hadist tersebut tidak mengindikasikan perintah untuk memakai niqab, tetapi jilbab. Sedangkan jlbab tidak harus niqab. Tetapi karena cantik sekali, takut orang terpesona dan untuk menjaga kesucian dirinya silahkan tidak apa-apa. Tetapi, jika sudah mengatakan wajib bagi orang lain, inilah yang menjadi masalah. Karena sifatnya khilafiyah, sehingga tidak boleh menjustifikasi.

Wallahu a’lam. *mr)
*Fatwa ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 Tahun 2009.

Tagged: ,

0 komentar:

Posting Komentar