Beberapa waktu yang lalu, Muhammadiyah mengimbau kepada
seluruh warga persyarikatan untuk membantu menyebarkan kesimpulan fatwa tarjih
melalui beberapa gambar tentang cadar, celana cingkrang bagi laki-laki, dan
sebagainya. Bahkan, ada sebagian dari pembaca pesan dalam gambar-gambar
tersebut yang mengira/berasumsi bahwa Muhammadiyah melarang penggunaan cadar,
celana cingkrang, dan semisalnya. Benarkah
demikian?
Belakangan, semangat beragama masyarakat memang mengalami
peningkatan, terutama di kalangan kawula muda, khususnya di Banjarmasin. Hal
ini berdampak pada—diantaranya—ramainya pengajian-pengajian keislaman di
berbagai masjid dan gaya berpakaian yang sesuai/mulai mendekati kesesuaian dengan
aturan dari hadits dan Al Qur'an. Kita bersyukur untuk itu.
Selain itu, yang juga menjadi dampak atas peningkatan semangat
beragama tersebut ialah mulai-banyaknya muslimah yang memutuskan menggunakan
cadar serta laki-laki yang menggunakan celana cingkrang. Beberapa di antara
mereka memang warga Muhammadiyah, dan untuk diketahui, dalam hal ini terdapat
perbedaan di kalangan ‘ulama mengenai hukum keduanya. Maka, bagaimanakah
Muhammadiyah memandang hal ini?
Berikut adalah penjelasan lengkap yang dikutip dari situs
resmi Fatwa Tarjih Muhammadiyah dan sedikit tambahan dari pemaparan Ustadz Nurcholis pada KajianMu, dikutip dari tulisan Saudari Miftahul Ajri.
Check this out.
Tentang cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku
Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid
4 halaman 238, Bab Sekitar Masalah Wanita.
Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam Al
Qur’an maupun sunnah. Syariat Islam yang diperintahkan bagi wanita adalah
memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31 yang artinya: “Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya …,”
“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Ayat ini menurut penafsiran jumhur ulama, bahwa yang
boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana
pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol.
6:51)
Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat
dari Aisyah ra:
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan
Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada
kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah
bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian
tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan
haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk
wajah dan kedua telapak tangannya.” [HR.
Abu Dawud]
Hadits ini dikategorikan mursal oleh
Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat
rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus
hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah)
oleh para ulama kritikus Hadits.
Namun, ia mempunyai penguat yang ternilai mursal shahih dari
jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (no. 460, cet. Dar al-Jinan,
Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin
Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:
Artinya: “Telah
menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud,
telah menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw
bersabda: Sesungguhnya seorang perempuan
jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali
wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi).” [HR.
Abu Dawud]
Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378)
dan al-Ausath (2/230),
al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(4/283).
Selain itu, banyak riwayat-riwayat lain yang
memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat
perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka.
Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana
diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).
Terkait dengan pakaian perempuan ketika shalat, sebuah
riwayat dari Aisyah ra menjelaskan bahwa ketika shalat para perempuan pada
zaman Nabi saw memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at
fi-murutihinna).
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah
memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku Urwah
bahwasannya Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah saw shalat subuh,
beberapa perempuan mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi saw). Mereka
shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah
masing-masing dan tidak seorangpun yang mengenal mereka.” Dalam riwayat lain:
“Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.” [Muttafaq
‘alaihi]
Imam asy-Syaukani memahami hadits ini bahwa para sahabat
perempuan di antaranya Aisyah ra tidak dapat mengenali satu sama lain sepulang
dari shalat subuh karena memang keadaan masih gelap dan bukan karena memakai
cadar, karena memang saat itu wajah para perempuan biasa terbuka.
Akan tetapi, apakah Muhammadiyah
melarang menggunakan cadar?
Tidak, tetapi mewajibkan juga tidak karena tidak ada
indikasi yang kuat pada hadist atau ayat tersebut untuk mewajibkan. Tentang niqab, perdebatannya panjang
dari dahulu hingga sekarang.
Bagi Muhammadiyah, hadist-hadist
tersebut tidak mengindikasikan perintah untuk memakai niqab, tetapi jilbab.
Sedangkan jlbab tidak harus niqab. Tetapi karena cantik sekali, takut orang
terpesona dan untuk menjaga kesucian dirinya silahkan tidak apa-apa. Tetapi,
jika sudah mengatakan wajib bagi orang lain, inilah yang menjadi masalah.
Karena sifatnya khilafiyah, sehingga tidak boleh menjustifikasi.
Wallahu a’lam.
*mr)
*Fatwa ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 Tahun
2009.
0 komentar:
Posting Komentar